TUGAS
PAPER
“MENGANALISIS
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM LARANGAN EKSPOR BAHAN BAKU ROTAN DI INDONESIA”
Paper Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Sistem Perekonomian Negara
Dosen Pengampu: Wijianto,
S.Pd, M.Sc
Disusun oleh:
Muhammad
Sidiq Efendi
K6411038
K6411038
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Ekspor merupakan
proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain
secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya
adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri
untuk memasukannya ke negara lain. Ekspor barang secara besar biasanya
membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima.
Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan internasional
Kebijakan ekspor pada awalnya dibuat
untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh sumber daya yang ada di
dalam negeri serta untuk mengeratkan hubungan dengan negara lain. Kemudian berkembang menjadi alat
untuk menunjukkan eksistensi negara di dunia internasional. Selain itu,
kebijakan ekspor juga dapat menjadi media transfer kebudayaan dan teknologi.
Kebijakan ekspor sangat penting
karena selain fungsi utamanya untuk memenuhi kebutuhan suatu negara, tetapi juga berpengaruh terhadap
roda perekonomian dalam negeri. Pemerintah harus melihat keadaan perekonomian
dalam negeri, merencanakan dan mempersiapkan serta menganalisis dampak dari
kebijakan yang akan dibuat. Kesiapan pelaku perekonomian dalam negeri terkait
kebijakan ekspor harus menjadi perhatian, agar kebijakan tersebut benar-benar
memberikan energi positif bagi perekonomian dalam negeri.
Namun tidak
semua barang dapat di ekspor secara bebas, hal ini karena menimbangkan beberapa
aspek yang terkait didalamnya, misalnya aspek ekonomis, aspek kegunaan dan
aspek kebutuhan. Sekitar dua tahun lalu, tepatnya tanggal 1 desember 2011,
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan secara resmi akhirnya mengeluarkan
kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan. Larangan ini bertujuan untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri berbahan baku rotan di dalam
negeri.
Gita Irawan
Wirjawan selaku Menteri Perdagangan
menuturkan bahwa alasan mendasar dari dikeluarkannya kebijakan larangan
ekspor bahan baku rotan ini, yaitu untuk menjaga kelestarian sumber daya rotan
dan hutan di Indonesia. Selain itu untuk meningkatkan utilisasi industri dan
ekspor produk rotan, serta untuk mencegah terjadinya penyelundupan akibat masih
diperbolehkannya ekspor jenis-jenis rotan tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan akhirnya resmi mengeluarkan larangan ekspor bahan baku rotan.
Larangan ekspor bahan baku rotan ini mulai berlaku
awal November 2011. Larangan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan industri berbahan baku rotan di dalam negeri.
"Kami menutup ekspor bahan baku
rotan dengan keyakinan akan terjadi penyerapan oleh industri di dalam negeri.
Selain itu, pembangunan sentra produksi ke depan tidak hanya difokuskan di
pulau Jawa tetapi akan dikembangkan di seluruh Indonesia," kata Menteri
Perdagangan, Gita Irawan Wirjawan, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com,
Kamis, 1 Desember 2011. "Dan tak kalah pentingnya, peningkatan usaha untuk
terjadinya alih teknologi dari luar yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas
produk melalui pengembangan desain." imbuhnya.
Aturan itu
dikeluarkan setelah mendengar masukan beberapa kementerian terkait seperti
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, dan para gubernur. Beberapa
pihak merekomendasikan dalam proses produksi rotan turut memperhatikan aspek
penyelamatan lingkungan dan adanya jaminan penyerapan rotan dari industri dalam
negeri. Rekomendasi tersebut meminta Indonesia dalam proses produksi rotan
turut memperhatikan aspek penyelamatan lingkungan dan adanya jaminan penyerapan
rotan dari industri dalam negeri.
Menteri Perdagangan menuturkan bahwa
beberapa waktu yang lalu pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan ekspor
melalui eksportir terdaftar, penetapan kuota ekspor, jenis dan ukuran yang
dapat diekspor, serta pengenaan bea keluar. Namun, kebijakan tersebut ternyata
belum dapat mendorong laju pertumbuhan industri rotan di dalam negeri, agar
kembali pulih seperti di waktu yang lalu. Hingga akhirnya pemerintah menganggap
perlu untuk mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan.
Dengan adanya larangan ekspor bahan baku rotan ini diharapkan produksi rotan
dalam negeri dapat terserap oleh pasar domestik, sehingga industri produk rotan
dalam negeri mampu bersaing dengan industri pasar global.
Gita menuturkan bahwa, alasan
mendasar dari dikeluarkannya kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan ini
antara lain adalah:
Ø untuk
menjaga ambang lestari sumber daya rotan dan hutan
Ø untuk
meningkatkan utilisasi industri dan ekspor produk rotan
Ø untuk
menumbuhkan industri lokal dalam negeri
Ø untuk
mencegah terjadinya penyelundupan akibat masih diperbolehkannya ekspor
jenis-jenis rotan tertentu
INDUSTRI OLAHAN ROTAN SEMAKIN TERPURUK
Industri
pengolah rotan mengalami keterpurukan dalam beberapa tahun terakhir seiring
adanya kebijakan pembukaan ekspor rotan dari hutan Indonesia. Badan Pusat
Statistik mencatat telah terjadi penurunan kinerja ekspor industri mebel dan
kerajinan rotan yang cukup signifikan sejak diberlakukan buka tutup ekspor
rotan sejak tahun 2005.
Pada tahun 2006,
kinerja ekspor kerajinan rotan mencapai U$$344 juta, namun pada tahun 2007
turun menjadi US$319 juta. Pada tahun 2008, ekspor kerajinan rotan turun lagi
menjadi US$239 juta, dan kemudian pada tahun 2009 serta 2010 juga melemah
masing-masing menjadi US$168 juta dan US$138 juta.
Yayasan Rotan
Indonesia membeberkan data bahwa rata-rata sebelum tahun 2005, jumlah produksi
industri kerajinan dari bahan rotan ini mencapai 81,9 ribu ton rotan. Namun,
pada tahun 2006 jumlah produksi menurun menjadi 76,2 ribu ton.
Sebagai contoh,
di sentra kerajinan rotan Cirebon, rata-rata ekspor mebel rotan sebelum tahun 2005
mencapai 3.000 kontainer per bulan. Sementara itu, pada tahun 2009 maksimal
hanya 1.000 kontainer. Dan bahkan saat musim paceklik hanya 600 kontainer.
Data statistik
Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyebutkan bahwa nilai ekspor
produk keranjang rotan dan sejenisnya turun dari US$27,04 juta pada tahun 2007
menjadi US$19,22 juta pada tahun 2008. Selanjutnya, nilai ekspor kursi dan
perabot rumah tangga rotan juga merosot dari US$155,16 juta pada tahun 2007
menjadi US$106,06 juta pada tahun 2008.
Ini
mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan pengolahan rotan yang gulung tikar
dan bertumbangan satu per satu. Pada tahun 2007 masih terdapat 614 unit usaha
pengolahan rotan, akan tetapi pada tahun 2008 hanya tinggal 234 unit usaha. Data
Asmindo juga memperlihatkan, sebanyak 250 ribu petani rotan di Sulawesi Tengah
beralih profesi menjadi penambang emas atau petani kakao karena harga rotan
yang sudah tidak menjanjikan lagi.
INDONESIA
PRODUSEN ROTAN TERBESAR DI DUNIA
Asosiasi
Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) menyatakan Indonesia merupakan
negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sekitar 85 persen bahan baku rotan
dihasilkan oleh Indonesia. Pada 2010 AMKRI merilis luas areal hutan rotan
Indonesia tinggal 1,34 juta hektare dengan jatah tebang tahunan (annual
allowable cut/AAC) sebanyak 210.064 ton rotan kering per tahun. Hutan ini
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku,
dan Papua. Sementara itu, luas rotan budidaya hanya sekitar 48.000
hektare.
Bila
eksploitasi rotan hanya boleh 60 persen AAC, maka ketersediaan bahan baku rotan
di dalam negeri hanya sekitar 126.000 ton rotan kering. Rotan itu sebagian
diekspor dalam bentuk asalan dan rotan setengah jadi, seperti rotan poles,
core, fitrit, dan kulit.
Ekspor bahan
baku rotan pada tahun 2010 mencapai 32.845 ton dengan nilai US$32,35 juta atau
sekitar Rp. 290 miliar. Data ini sedikit berbeda dengan Asosiasi Pengusaha
Rotan Indonesia (APRI). Asosiasi yang menolak kebijakan penutupan ekspor rotan
ini menyatakan potensi produksi rotan Indonesia mencapai 696.000 ton per
tahun. Jika ekspor rotan ditutup, akan menghilangkan potensi ekspor US$1,4
miliar dan mematikan lima juta pemungut dan pengusaha rotan setengah jadi.
Pada
kenyataannya, potensi rotan di hutan sudah semakin menurun. Rotan di hutan
sulit dijangkau, sehingga penghasil bahan baku pun sulit mendapatkan rotan.
Akibatnya, harga rotan menjadi mahal. Rotan berkualitas baik umumnya ditujukan
untuk pasar luar negeri, sedangkan industri lokal hanya memperoleh rotan dengan
kualitas rendah dengan harga yang juga mahal.
AMKRI
menduga, telah terjadi penyelundupan bahan baku rotan secara besar-besaran,
sehingga data-data ini hanya mencerminkan lima persen ekspor rotan Indonesia,
sedangkan 95 persen sisanya diekspor tanpa tercatat. Menurut data AMKRI, pada tahun
1986, ketika ekspor rotan dilarang, maka industri pengolahan rotan nasional
berkembang pesat dan ekspornya meningkat hingga US$370 juta pada tahun 2005.
Kemudian, akibat kebijakan buka-tutup ekspor rotan, maka industri dalam negeri
terpuruk dan ekspornya turun tinggal US$138 juta pada 2010.
Badan Pusat
Statistik juga mencatat penurunan kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan
rotan. Dimulai pada tahun 2006, kinerja sektor ini mencapai US$344 juta,
kemudian pada tahun 2007 turun menjadi US$319 juta. Selanjutnya, pada tahun 2008
turun lagi menjadi US$239 juta dan pada tahun 2009 serta tahun 2010
masing-masing turun menjadi US$168 juta dan US$138 juta. Sementara itu, pada
Juni 2011, ekspor turun menjadi US$57 juta.
EKSPOR ROTAN MENTAH
Sebelumnya pemerintah telah
menerapkan kebijakan untuk membuka dan menutup ekspor rotan melalui
pemberlakuan larangan ekspor rotan mulai 1989 hingga 1999 dan larangan yang
kedua dikeluarkan pada Mei 2004 sampai Juni 2005.
Sedangkan kebijakan untuk
memperbolehkan ekspor rotan dilakukan pertama sejak 1999 sampai dengan 2004,
dan kedua pada 2005 hingga sekarang. Kebijakan membuka dan menutup ekspor rotan
yang telah dilakukan pemerintah ternyata belum mampu untuk mengembangkan
industri pengolahan yang berbahan baku rotan. Beberapa faktor penyebabnya antara
lain:
1.
Diperbolehkannya ekspor rotan mengakibatkan
eksploitasi pengambilan rotan. Sehingga mengancam kelestarian bahan baku rotan.
2.
Diperbolehkannya ekspor rotan dapat mengakibatkan
industri dalam negeri kesulitan untuk mendapatkan akses suplai bahan baku rotan
di dalam negeri.
3.
Industri yang berbahan baku rotan di luar negeri
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif (diluar aspek bahan baku).
Seperti akses permodalan dengan bunga rendah, fasilitas infrastruktur yang
memadai, menggunakan desain yang modern, sistem produksi yang efisien,
menggunakan teknologi yang baik dan kepercayaan konsumen untuk membeli produk
yang berbahan rotan dari negara pesaing Indonesia.
Dengan langkah-langkah tersebut,
diharapkan industri pengolahan rotan di dalam negeri dapat kembali bangkit dan
bersaing lebih baik di pasar internasional, sehingga akan memperbaiki taraf
hidup para pelaku industri kecil, menengah maupun para petani atau pengumpul
rotan di sentra-sentra produksi.
Sebagai informasi, Indonesia
merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sekitar 85 persen konsumsi
rotan dunia dipasok dari Indonesia. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan
yang terdiri dari sekitar 306 jenis, namun yang biasa dimanfaatkan ada 51
jenis.
Menurut data dari Kementerian
Kehutanan hasil penelitian dari International Tropical Timber
Organisation (ITTO), rotan yang dapat diproduksi lestari adalah sebesar 530.000
ton rotan mentah dan kemudian dikonversi dalam rotan kering menjadi 2,5
berbanding satu kilogram rotan kering. Sehingga jumlahnya menjadi 210.000 ton.
Kemudian menjadi rotan asalan sebesar 126.000 ton, dan dari rotan asalan
menjadi rotan setengah jadi (50 persen) sebesar 63.000 ton.
Dari jumlah tersebut, rotan setengah
jadi rata-rata diekspor sebesar 33.000 ton dan sisanya sebesar 30.000 ton
dipakai untuk pasokan kebutuhan industri barang jadi rotan dan furnitur rotan
dalam negeri. Utilisasi industri dalam negeri sekarang tinggal sebesar 30
persen karena adanya ekspor. Sehingga pasar industri berbahan baku rotan
dipasok oleh pesaing yang mendapatkan bahan baku rotan dari Indonesia.
Kebutuhan bahan baku rotan untuk
pasokan dalam negeri membutuhkan jumlah sebesar 62.921 ton dengan perincian 60
persen rotan murni dan 40 persen rotan kombinasi atau sama dengan satu ton
mebel rotan sama dengan 1,2 ton rotan bahan baku. Bahan baku untuk mebel rotan
kombinasi sebesar 30 persen, dan anyaman 10 persen.
PAKET KEBIJAKAN
Gita Wirjawan menjelaskan, ada beberapa langkah kebijakan yang perlu
dilakukan untuk meminimalisir dampak dari pelarangan ekspor bahan baku rotan.
Yaitu dengan melakukan berbagai kebijakan dan rencana aksi yang dapat dilihat
dari berbagai aspek.
v Aspek
perindustrian
1.
Menjamin ketersediaan bahan baku rotan untuk
kepentingan industri dalam negeri.
2.
Meminimalisir dampak langsung kepada petani atau
pengumpul rotan sehingga semua rotan yang dihasilkan dari hutan alam dan hasil
budi daya dapat diserap oleh industri di dalam negeri.
3.
Menyiapkan roadmap (peta panduan) pengembangan
industri dalam negeri yang realistis dan dapat segera diaplikasikan.
4.
Menyiapan SDM yang memiliki keahlian dalam pengolahan
bahan baku rotan.
5.
Melakukan promosi bersama-sama kementerian terkait
untuk peningkatan penggunaan produk dari bahan baku rotan di dalam negeri.
v Aspek
kehutanan
1.
Adanya dukungan kebijakan yang nyata agar petani atau
pengumpul rotan tidak berpindah kepada usaha tanaman lain ataupun sektor lain.
Sehingga petani atau pengumpul tetap memungut rotan guna pasokan kepada
industri di dalam negeri.
2.
Adanya dukungan kebijakan untuk menjaga ekosistem
rotan, agar rotan tidak punah oleh adanya eksploitasi sumberdaya rotan yang
berlebihan atau adanya keengganan petani atau pengumpul untuk memungut rotan.
v Aspek
perdagangan
1.
Peraturan Menteri Perdagangan yang menetapkan rotan
masuk ke dalam sistem resi gudang. Serta rotan yang masuk dalam resi gudang
akan mendapat subsidi pemerintah untuk bunga bank.
2.
Penyiapan gudang untuk penampungan rotan dalam sistem
resi gudang.
3.
Penerapan standar mutu bahan baku rotan yang di
pasarkan di dalam negeri.
4.
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengangkutan
Rotan Antar Pulau untuk mencegah terjadinya penyelundupan rotan dan menjaga
ketersediaan bahan baku industri barang jadi rotan di dalam negeri.
Dari aspek-aspek tersebut, pemerintah telah
mengeluarkan paket kebijakan secara bersama-sama, langkah-langkah tersebut
antara lain:
1.
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ekspor Rotan
yang mencakup larangan ekspor rotan asalan, rotan mentah, dan rotan setengah
jadi.
2.
Peraturan Menteri Perdagangan tentang pengangkutan
rotan antar pulau.
3.
Peraturan Menteri Perdagangan tentang barang yang
dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang.
4.
Peraturan Menteri Perindustrian tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 119/M-Ind/Per/10/2009 tentang peta
panduan (Roadmap) pengembangan klaster industri furnitur (terutama
furnitur rotan).
5.
Peraturan Menteri Kehutanan tentang penetapan rencana
produksi rotan lestari secara nasional periode 2012 yang berasal dari
pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu rotan yang dibebani IUPHHBK
atau IPHHBK yang sah.
EKSPOR ROTAN
DILARANG, INDUSTRI LOKAL MEMBAIK
Pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan akhirnya resmi mengeluarkan larangan ekspor
bahan baku rotan. Kebijakan itu justru
membuat Menteri Perindustrian MS Hidayat bertekad untuk mengembalikan kejayaan
industri berbasis rotan asal Indonesia. Ini merupakan kepentingan nasional,
industri rotan yang dulu pernah mengalami kejayaan, dan sekarang harus berjaya
kembali.
Ia
menjelaskan, sekitar 85 persen bahan baku rotan ada di Indonesia. Untuk itu,
sudah semestinya pemerintah membuat industri rotan bangkit kembali. Hal ini
bukan hanya untuk kepentingan pengusaha, tapi bisa menjadi kebanggaan bagi
masyarakat Indonesia.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar