Semua Bidah itu
Sesat (Tidak Ada Bidah Hasanah dan Bidah Sayyiah)
A. MENGKRITISI BIDAH HASANAH DAN BIDAH
SAYYIAH
‘Setiap bid’ah adalah tercela’. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang.
Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang
baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita
menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
Dalil dari As Sunnah
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan
kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang
meneriaki pasukan ‘Hati-hati
dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat
adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya].
Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih
wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu
memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran,
dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat
perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada
Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak
Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada
sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah
dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih
wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Dalil dari Perkataan Sahabat
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا
أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ،
وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan
mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabirno. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen),
janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam
kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan
bahwa setiap bid’ah itu sesat.
B. KERANCUAN: ADA BID’AH HASANAH YANG
TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering
didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat
namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama
ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah
itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau
adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam
Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliaurahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة
وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah
yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah
dan lihat Fathul
Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala
mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat
sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa
bid’ah itu ada yang baik (bid’ah
hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti
merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau
pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan
‘Ini kan bid’ah yang
baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maupun perkataan sahabat, semua
riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian
mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat
bid’ah yang sebenarnya.
C. SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN: KETAHUILAH
SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa
sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara
adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama,)’, ‘setiap
bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang
diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barang siapa
menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak
sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bersifat umum
yang menyatakan bahwa setiap
bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa
lafazh ‘kullu’ (artinya : semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal
dengan lafazh
umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama
memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya,
tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam
hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para
sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu
sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia
menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang
di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka
bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka
dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ
أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ
مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه
وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ،
وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ
مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa
sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian,
wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian
masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.
Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian
berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin
membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا :
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ :
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu
Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”
(HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah
kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan
keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang
jelek (sayyi’ah).
D. BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG
DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan
kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat
tarawih adalah sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan
dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan
shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam.
Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama
beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang
dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah
secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah
secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup
segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu
perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal
ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamwafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini
sebagai bid’ah
secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut
dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan)
–sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai
orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh
para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan
Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima
perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan
sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan
Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak
boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus
didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan
Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan
Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah
itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus
adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa
suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As
Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan
kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus
ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang
menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa
setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah)
adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang
dimaksudkan dalam hadits ‘setiap
bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap
dalam keumumannya (‘aam
baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai
hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu
pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai
oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini
tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi
awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita
saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang
dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang
kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi
secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara
bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena
hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan :
Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap
bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula
membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena
pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.